1 Raja-Raja 22 (MAD2T*Mlm*10 Jan*Tahun 2)
1 Raja-raja 22
Penjelasan Singkat
Ahab dibujuk
Isi Pasal
Persekutuan antara Ahab dan Yosafat. Kekalahan telak Ahab.
Judul Perikop
Ahab memerangi Ramot-Gilead -- Nabi TUHAN berhadapan dengan nabi-nabi palsu (22:1-40)
Yosafat, raja Yehuda (22:41-50)
Ahazia, raja Israel (22:51-53)
Tafsiran: Dalam dua pasal berturut-turut kematian Ahab dinubuatkan (1 Raja-Raja 22:1Raj. 20:41-42; 21:19). Kali ini lagi-lagi kita menjumpai nabi-nabi. Ada empat ratus orang nabi dikumpulkan. Pada masa itu, nabi-nabi hidup dalam komunitas-komunitas. Profesi nabi tidak serta-merta berarti bahwa mereka menyuarakan suara Tuhan, sebagaimana yang nyata dalam perikop ini.
Yosafat, raja Yehuda yang takut akan Tuhan, meminta Raja Ahab memanggil nabi Tuhan (1 Raja-Raja 22:7). Permintaan ini menunjukkan pembedaan yang diketahui semua orang: orang bisa menjadi nabi atas nama dewa-dewi manapun dan di dalam konteks inilah nabi Tuhan juga hidup dan berkarya. Raja Yosafat merasa tak puas dengan nubuat yang disampaikan oleh sembarang nabi, tetapi ia hanya percaya kepada nabi yang dikirim oleh Tuhan.
Di sini kita masih mendapati sikap Ahab yang kekanak-kanakan: ia tahu bahwa nabi Mikha menyampaikan suara Tuhan yang benar, tetapi ia enggan memanggil Mikha karena ia khawatir ia tidak menyukai apa yang ia dengar. Bahkan ketika yang dipertaruhkan adalah nyawanya, ia lebih memilih mendengar apa yang ia suka daripada apa yang benar. Sungguh tragis!
Mikha rupanya tahu benar tabiat Ahab, maka ia menjawab apa yang Ahab ingin dengar. Namun Ahab merasakan sindiran Mikha sehingga ia menyampaikan sebuah pertanyaan ironis, mengingat ia sendiri tak ingin mendengar kebenaran yang disampaikan Mikha. Sepanjang hidup Ahab, kita melihat sikap tarik-ulurnya terhadap Tuhan.
Kita hidup dalam situasi di mana kesadaran beragama ada di mana-mana. Di atas kertas, setiap orang percaya Tuhan. Namun, benarkah sikap kita sejalan dengan kepercayaan kita? Ahab pun percaya kepada Tuhan, dia bisa menunjukkan penyesalan sejati. Namun dia tidak bisa mempersilakan Tuhan menjadi tuan atas hidupnya. Dia tetap ingin memegang kendali, bahkan begitu ekstrem sampai di ambang kehilangan hidup pun dia tetap memilih memegang hidupnya erat-erat daripada mempersilakan Tuhan menjadi Tuhan. Bagaimana sikap kita terhadap Tuhan? Apakah kita memilih menghiraukan apa yang benar atau apa yang nyaman?
Kita mendapati bahwa ada roh-roh yang memang Tuhan izinkan memperdaya Ahab agar nubuat yang diutarakan nabi-nabi Tuhan terwujud. Ini pernah juga dicatat Alkitab dalam 1 Samuel 16:14, ketika Saul ditolak oleh Tuhan.
Ahab telah menjalani hidup yang penuh kejahatan dan perlawanan terhadap Tuhan. Waktu ia mendengar suara Tuhan melalui Elia, ia memilih untuk tidak taat. Elia harus berbicara keras agar Ahab bertobat. Namun, hati yang keras dan bermusuhan dengan Tuhan telah membuat Ahab tidak bisa lagi mengenali kebenaran Tuhan, bahkan saat hidupnya bergantung pada kebenaran itu.
Interaksi antara Ahab, Mikha, dan Zedekia menunjukkan kegalauan yang tak berakhir baik maupun logis. Ahab menghukum Mikha seolah-olah tawanan, agar dia bisa kembali. Namun Mikha dengan lantang menyoroti kacaunya pemikiran Ahab (1 Raja-Raja 22:28), yaitu hendak mengatur segalanya agar keinginannya dituruti Tuhan. Akan tetapi, tindakan "tegas" yang diambilnya menunjukkan pemikirannya telah absurd dan ia dirasuki keinginan yang akan membawanya mati di medan pertempuran.Pada akhirnya, siapa yang membunuh Ahab? Tidak ada yang bisa membuat klaim itu, bahkan pihak lawan sekalipun. Alkitab menyoroti bahwa kematian Ahab akhirnya terjadi bukan karena jasa satu orang tertentu, bukan pula karena kegagahannya melawan panglima atau pahlawan besar tertentu; ia mati semata-mata karena panah yang ditembakkan secara asal.
Ahab adalah seorang raja besar, tetapi sayangnya ia membuat banyak pilihan yang salah dalam hidupnya. Pilihan-pilihan itu tidaklah spektakuler, melainkan pilihan-pilihan yang juga kita buat dalam hidup kita: memilih pasangan, memilih mengendalikan hasrat diri, memilih untuk mengenali suara Tuhan dalam keseharian hidup. Baiklah kita melatih kepekaan kita dengan menjalani kehidupan bersama Tuhan, agar dalam momen-momen pelik kehidupan, ketika kita paling membutuhkannya, kita memiliki kepekaan untuk mengenali yang mana suara Tuhan.
Seseorang yang pernah mengalami anugerah Tuhan seharusnya memelihara imannya dengan konsisten. Ia tahu bahwa Allah satu-satunya sumber kebenaran, sehingga ia tidak menjual imannya untuk apapun.
Yosafat adalah seorang anak Tuhan yang belajar dari pengalaman iman, lalu hidup konsisten dengan imannya. Ia tidak mau gegabah menuruti nasihat Ahab untuk berperang bersama melawan Aram (ayat 22:1-28). Ia meminta nasihat nabi Allah sebelum melakukannya. Ia mengalami anugerah Tuhan, ketika ia ikut Ahab memerangi Aram. Seharusnya ia mati dalam peperangan itu, tetapi karena anugerah Tuhan, ia selamat dan Ahab yang mati (ayat 22:29-40). Bagi Yosafat pengalaman berharga ini menyebabkan imannya makin teguh pada Tuhan. Alkitab mencatat ia mengikuti jejak ayahnya, Asa yang saleh (ayat 43). Ia melakukan lebih dari Asa, yaitu menghapuskan praktek pelacuran bakti yang masih ada pada masa sebelumnya (ayat 47).
Ada satu hal yang secara konsisten Yosafat terapkan. Walaupun ia hidup berdamai dengan raja Israel, yaitu Ahab dan kemudian Ahazia, anak Ahab (ayat 45), ia tidak mau terlibat lagi dengan "permainan" politik. Ia tahu turut serta dengan orang tidak seiman lebih banyak menghasilkan kerusakan daripada kebaikan.
Konsisten dengan iman berarti konsisten menghindarkan diri dari persekutuan dengan orang yang tidak seiman, serta konsisten memuliakan Tuhan dengan kehidupannya.
Doaku: Tuhan tolong aku menjadi anak-Mu yang konsisten menjalani hidup dalam anugerah-Mu.
Comments
Post a Comment